Dua pekan sudah, Santi (32) warga Desa Marisa Selatan, beserta keluarga hanya bisa menangisi keberadaan sang Ayah, Arjun Jakatara (52) yang kini mendekam di sel Mapolres Pohuwato usai ditangkap Polisi atas insiden kericuhan yang terjadi pada Kamis (21/09/2023).
Pria paruh baya asal Desa Marisa Selatan itu, adalah satu dari sekian warga yang diduga korban salah tangkap saat insiden kericuhan itu terjadi.
Kendatipun hanya hendak menerima upah buruh tani jagung, Arjun tak sempat lagi melakukan pembelaan apalagi perlawanan saat diseret petugas dari Depan Kampus Universitas Pohuwato menuju Mapolres Pohuwato.
Tak hanya itu, saksi mata lain menyaksikan bagaimana bertubi-tubi pukulan, tendangan hingga hantaman senjata milik oknum petugas mendarat di tubuh kakek paruh baya itu.
“Waktu penangkapan itu saya ada, saya lihat sendiri mereka injang, dipolungku (pukul), di ini dengan senjata pokoknya semua dorang pe pukulan dorang jalankan waktu itu,” ujar Haris Juragan Jagung.
“Sampai darah di mulut, hidung, lewat telinga saya lihat. Saya coba mau jelaskan kalau dia (Arjun) tidak ikut demo, bukan penambang, mereka tetap bilang ah, tidak mungkin. Malah saya diancam, kalau ikut campur saya juga dibawa, maka dari itu saya mundur meskipun anak saya juga dibawa,” lanjut kata Haris.
Sebelumnya, diceritakan Haris juragan jagung tempat Arjun bekerja. Pada Kamis (21/09/2023) itu, Arjun bersama beberapa buruh tani lainya baru saja selesai memanen jagung miliknya yang berada di Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa.
Arjun dan beberapa pekerja bersepakat untuk menerima upah di salah satu rumah yang berada di depan Universitas Pohuwato, tak jauh dari Polres Pohuwato.
“Selesai kerja sekitar jam 1 siang, turun ke kampung itu jam 3 dan sekitar setengah 4 saya kasih terima gaji. Setelah terima gaji, tiba-tiba massa lari ke lorong di depan kampus karena dikejar kepolisian. Saya dan yang lain lari ke dalam, Nah Arjun dengan anak saya bertahan dijalan karena menganggap tidak melakukan apa-apa, tiba-tiba mereka ditangkap,” kata Haris
“Dia (arjun) dituduh melakukan perusakan di gunung, sedangkan itu kejadian jam berapa? dan dia (Arjun) itu jam 1 baru selesai kerja dengan saya, itu saya cari tahu kenapa sudah jadi begini apakah orang bodok diperbodok. Apalgi sudah tua begitu,” ungkapnya dengan kesal.
Sementara itu, Santi Jakatara anak korban, dengan terisak menceritakan bagaimana ayahnya dari balik jendela ruangan Polres mengungkapkan proses pemeriksaan yang membuatnya mengakui perbuatan yang sama sekali tak dilakukanya.
Kata Santi, ayahnya ditendang, dipukuli hingga akhirnya mengakuinya lantaran tak tahan lagi dengan rasa sakit yang diderita.
“Ada tanya sama ti papa kenapa so ba cap jempol, dijawab Madidu otahangiya’u no’u (sudah tidak tahan lagi). Dari jendela dia peragakan bagaimana dia dipukul di perut, tendang dikepala, belakang, semua dorang mo ba pukul akan,” cerita Santi sambil terisak.
“Ti papa bilang sampe totofore, so minta ampun sampe so mangaku. Bikin saya sedih, ti papa lihat torang manangis dia cuma bilang tidak apa nou, tidak apa, sudah saja,” lanjut kata Santi.
Lain halnya dengan Yanti, anak Arjun yang satunya. Kata dia, saat berkunjung ke Polres Pohuwato untuk membesuk, dirinya dan keluarga kaget tiba-tiba disodori surat oleh aparat kepolisian yang menetapkan Arjun sebagai tersangka dimana surat tersebut sudah dibubuhi cap jempol Arjun.
Keluarga pun protes lantaran Arjun yang tak tahu baca-tulis tiba-tiba menyertakan cap jempol dalam surat tersebut.
“Saya baku banta akan pa dorang (Polisi) kemarin itu karena ti sebe ini kasian tidak tahu ba baca, tidak ada sekolah kenapa tiba-tiba dia ba cap jempol. Saya tanya lagi sama ti papa, dia jawab tidak mo ba cap jempol kata dorang mo kase sakit, mo dipukul, ba priksa sambil ba pukul. Dia jawab tidak dorang pukul lagi. Jadi terpaksa mengaku ikut demo supaya tidak dipukul lagi. Nanti itu dia dipindah diruang tahanan. Padahal dia ini kasian sudah satu minggu ini hanya ba kupas milu di Bongo,” tukasnya.
Pihak keluarga pun kata Yanti baru mengetahui ayahnya ditangkap Polisi saat vidio yang memperlihatkan para tersangka kericuhan demo 21 September kemarin beredar di media sosial. Keluarga pun syok melihat kondisi sang Ayah diborgol dan sudah berlumuran darah.
Hingga saat ini, keluarga Arjun Jakatara pun masih belum tahu kelanjutan dari kasus yang disangkakan kepada Arjun. Berbagai upaya pun dilakukan agar Arjun bisa kembali ditengah-tengah keluarga, namun belum juga membuahkan hasil.
Menanggapi dugaan kekerasan yang diduga dilakukan anggotanya saat aksi unjukrasa 21 September lalu, Kabid Humas Polda Gorontalo, Kombes Pol Desmont Harjendro, memastikan hal itu tidak terjadi sebagaimana informasi yang telah beredar saat ini.
Namun demikian, jika benar ditemukan adanya tindakan tersebut dirinya mempersilahkan para pihak untuk menempuh jalur hukum.
“Para pelaku yang diamankan saat unjuk rasa itukan keadaan kita lagi Chaos, situasi lagi kacau, otomatis disitu ada gesekan-gesekan antara petugas pengamanan dengan massa aksi. Mungkin disitu ada yang jatuh, terpeleset, kena batu ya, kita tidak tahu. Intinya dalam penyidikan penyelidikan, proses tidak ada kekerasan. Kalau di temukan ya silahkan ditempuh dengan jalur hukum,” urai Kombes Pol Desmont, saat ditemui, Sabtu (30/09/2023).
Terkait ditetapkan sejumlah warga sebagai tersangka, pihaknya menghimbau agar semua pihak bisa menghormati dan menghargai proses hukum yang berlaku.
“Tidak serta merta langsung membebaskan, karena memang sudah ada alat bukti yang kita punyai dan sudah memberatkan dan sudah dijadikan tersangka, kalau langsung dibebaskan otomatis kita melanggar aturan yang sudah ada. Nanti kita lihat, cek sampai sejauh mana perkembangan dari penyidikan ini, seperti itu,” ungkap Kabid Humad Polda Gorontalo. (Dandi)