Terima Beras Enam Bulan, BLT Setahun Dicabut: Nasib Pasutri Miskin yang Dikorbankan Sistem

Penulis: Khalid Moomin

Daripohuwato.id – Kisah pilu pasangan Husain Tangahu (51) dan Hadija Gani (52), warga Desa Palopo, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, membuka luka lama tentang ketimpangan distribusi bantuan sosial di tingkat desa. Setelah hanya sekali menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) sejak menetap pada 2010, nama mereka kembali tercoret dari daftar penerima dengan alasan yang dianggap tak masuk akal.

Bacaan Lainnya

Pemerintah desa berdalih bahwa mereka tak lagi berhak mendapatkan BLT karena Husain sempat menerima bantuan beras dari Dinas Pangan selama enam bulan pada tahun 2024. Hal ini disampaikan oleh Kepala Desa Palopo, Agus Hulubangga.

“Tahun kemarin Dia (Husain) masuk program dari pangan dan menerima bantuan beras 10 kg setiap bulan. Jadi tahun ini kita menunggu lagi program itu, karena itu program setiap tahun. Insyaallah tahun ini ada, dia (Husain masuk lagi),” ujar Agus, Kamis (1/5/2025).

Beras yang diterima Husain berasal dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang disalurkan melalui Bulog, dengan kuota 10 kilogram per bulan untuk setiap keluarga selama setengah tahun. Namun, bantuan itu justru menjadi alasan pencoretan mereka dari program BLT, yang seharusnya berlangsung selama 12 bulan.

Kebijakan ini dianggap janggal dan menyisakan pertanyaan besar: apakah menerima 10 kg beras selama enam bulan cukup untuk menghapus hak atas bantuan tunai satu tahun penuh?

Agus menambahkan bahwa pencoretan dilakukan karena keterbatasan kuota. Terdapat sekitar 70 kepala keluarga yang masuk kategori sangat miskin, dan pemerintah desa menerapkan sistem “pergantian” agar bantuan bisa menyentuh lebih banyak warga.

“Dia di ganti, setelah dia masuk dari bantuan pangan itu. Di BLT itu kita akan ratakan, data masyarakat miskin ekstrim Itu ada sekitar 70 lebih data, maka kita saling mengganti penerima, agar bantuan ini kereta kesemua masyarakat,” jelasnya.

Namun, sistem yang diklaim sebagai pemerataan ini justru membentuk ketidakadilan baru. Bantuan digilir tanpa memperhatikan konsistensi kebutuhan warga penerima. Alih-alih dibantu secara berkelanjutan, keluarga miskin seperti Husain dan Hadija malah terjebak dalam sistem seleksi bantuan yang berubah-ubah.

“Hanya tahun 2023 pak, setelah itu sudah tidak lagi. Katanya dikasih ke orang lain, digilir begitu. Sampai sekarang tidak ada lagi,” keluh Hadija, dengan nada pasrah.

Padahal, kondisi ekonomi mereka nyaris tak berubah. Husain hanya bekerja serabutan, sementara Hadija menjual kue keliling demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Rumah mereka pun jauh dari kata layak, rawan bocor saat hujan, dan belum pernah tersentuh bantuan perbaikan.

Keputusan pemerintah desa untuk mencoret warga miskin dari bantuan tunai hanya karena pernah menerima bantuan pangan sesaat, mencerminkan minimnya kepekaan sosial dan buruknya perencanaan distribusi. Program yang seharusnya menyelamatkan justru menjadi alat pengabaian yang dibungkus dalih pemerataan.

Pos terkait