Oleh : Rahmat Syaifullah, S.Psi.
Kali ini kita akan membahas buku yang sudah lama selesai saya baca namun baru berkesempatan mengulasnya saat ini, mungkin karena relevansi dengan kondisi saat ini sehingga saya merasa penting untuk mengulasnya. Buku dengan judul, “The Righteous Mind, Mengapa orang-orang baik terpisahkan politik dan agama” karya Jonathan Haidt. Seorang tokoh psikologi asal Amerika. Di buku ini Jonathan Haidt mengajak kita untuk mengulik polarisasi dari banyak aspek mulai dari psikologi evolusi sampai filosofis.
Buku ini membahas soal bagaimana penilaian kita terhadap sesuatu, khususnya jika berkaitan dengan moralitas politik dan agama yang pada kenyataannya tidak menggunakan nalar logika, namun menggunakan perasaan.
Analoginya sederhananya, Jonathan menggambarkan seorang manusia yang sedang duduk di atas gajah. Manusia itu hanya bisa mengarahkan si gajah ke arah yang dia inginkan, namun semuanya tergantung pada si gajah, apabila si gajah menolak, maka tentu saja apa yang bisa dilakukan oleh manusia tersebut? Jonathan mengibaratkan manusia itu adalah seperti kesadaran kita atau nalar berpikir, sedangkan gajah itu mewakili perasaan atau intuisi kita. Jadi, seberapa canggih atau rasional argumen kita, apabila tidak menyentuh perasaan, maka semua hal itu tidak akan mengubah perilaku seseorang. Makanya, seringkali kita dengar istilah, kita setuju untuk tidak setuju. Inilah yang terjadi ketika kita menentukan pilihan politik dan keyakinan agam hanya melalui perasaan, bukan melalui argumen. Saya merangkumnya menjadi tiga hal penting dari buku ini :
- Peran Perasaan Dalam Mengambil Keputusan
Filosofi dunia barat seringkali mengagungkan nalar dan logika daripada perasaan selama ribuan tahun. Namun, sekarang sudah banyak studi yang menyatakan kalau perasaan tidak boleh dilupakan. Sebagai contoh, ahli saraf dari Amerika Serikat bernama Antonio Damasio menunjukkan kalau perasaan mengambil peran yang sangat penting dalam memproses sebuah informasi dan membuat penilaian secara moral.
Antonio meneliti pasien dengan kerusakan otak yang mengakibatkan emosional mereka boleh dibilang mendekati nol. Jadi, mereka kesulitan menggunakan perasaan dalam menentukan sebuah pilihan. Dampaknya, kehidupan sosial mereka jadi terganggu, karena mereka dianggap tidak peka oleh pasangan, teman, dan rekan kerja. Studi lain juga menunjukkan kalau perasaan punya andil yang besar dalam memproses informasi. Dan menariknya lagi, perasaan selalu bekerja di belakang layar. Penelitian tersebut membuktikan kalau semua hal memicu perasaan, dan perasaan ini secara otomatis mempengaruhi penilaian kita terhadap sesuatu, termasuk pilihan politik dan keyakinan agama.
Apakah kamu pernah merasa kalau pilihan politikmu merupakan sebuah pilihan yang tepat? Sehingga kamu tidak habis pikir, kenapa ada orang yang masih berbeda dengan pilihanmu? Apa yang terjadi? Ada fakta menarik yang diungkapkan oleh Jonathan. Mayoritas orang pada dasarnya adalah intuitif, bukan rasional. Itulah sebabnya, kita seringkali berdebat dengan orang yang berselisih pilihan, tapi sepertinya mereka tidak bisa mendengar alasan yang kita sampaikan. Karena pada dasarnya, kita tidak pernah didesain untuk mendengarkan sebuah alasan.
Ketika seseorang ditanyakan soal pertanyaan yang berhubungan dengan moralitas, jawaban dan pola aktivitas otak mereka menunjukkan kalau mereka langsung mengambil kesimpulan dengan cepat dan berusaha untuk membuat alasan justifikasi belakangan. Permasalahannya, bukannya mereka tidak bisa sama sekali diajak bicara dengan nalar, mereka bisa diajak bicara, namun argumen yang mereka bangun hanya untuk mendukung pilihan mereka, bukan pilihannmu. Jadi, jika kamu ingin mengubah pilihan seseorang, jangan fokus pada argumennya saja, tapi pada perasaan di baliknya.
- Alasan Dibalik Keputusan Seseorang.
Apakah tidak masalah misalnya memakan daging manusia yang sudah meninggal? Banyak orang akan dengan sekejap menjawab tidak ketika sebuah tindakan itu terdengar salah. Ini sering disebut sebagai intuisi atau good feeling yang seringkali mendorong sebuah penilaian moral. Kemampuan ini ternyata bukan hanya dimiliki orang dewasa, ketika kita kecil, kemampuan ini juga mulai berkembang. Dalam sebuah eksperimen, bayi berusia 6 hingga 10 bulan menonton sebuah pertunjukkan yang berisi dua boneka, boneka yang baik dan boneka yang nakal. Setelah menonton pertunjukkan tersebut, mayoritas bayi memilih boneka yang terlihat baik. Hal ini menunjukkan kalau dalam hal penilaian secara moral, seringkali kita memilih tanpa bisa memberikan nalar yang baik.
Inilah yang terjadi ketika seseorang membuat pilihan. Dalam membuat pilihan moral, kebanyakan orang berpikir melalui intuisi mereka daripada nalar logika.
Ada hal yang menarik di balik sebuah pilihan seseorang. Pada dasarnya, setiap orang selalu peduli apa yang dikatakan oleh orang lain. Riset membuktikan, orang yang bilang kalau dirinya cuek atas pendapat orang lain masih mengalami sedikit penurunan kepercayaan diri setelah diberikan rating yang rendah oleh orang asing. Ini menunjukkan kalau sejatinya kita peduli dengan reputasi kita di depan orang lain. Itulah sebabnya sadar atau tidak, ketika kita membuat sebuah pilihan, maka di baliknya, kita juga masih memikirkan bagaimana pandangan orang lain atas keputusan yang kita ambil. Namun, ketika ada kepentingan pribadi dari penilaian moral tersebut, maka hasilnya bisa terdistorsi.
- Manusia Itu Egois atau Altruistik Dalam Pilihan Politik dan Agama?
Kebanyakan orang setuju kalau rata-rata orang suka bersikap egois, kita mau keyakinan kitalah yang paling nenar, lebih mudah diterima, lebih mudah diterima oleh akal sehat daripada orang lain. Tapi di sisi lain, manusia juga bisa menunjukkan sifat altruistik. Pada saat tragedi Palestina. Kebanyakan orang yang tidak lagi terikat oleh keyakinan agama dan wilayah, ikut dalam bergai macam partisipasi untuk dapat terlibat dalam memberikan dukungan dan bantuan.
Ini mungkin membuat kita penasaran, kenapa ada gabungan dua hal tersebut? Jika dilihat lebih jauh, ternyata keegoisan seseorang dapat dijelaskan pada masa lampau. Pada zaman dulu, manusia secara individu diadu satu sama lain dalam sebuah kompetisi hingga menjadi manusia yang paling unggul. Ini yang membentuk pemikiran kita yang fokus pada kompetisi secara individu.
Namun, evolusi mengubah pemikiran manusia juga. Evolusi membuat manusia belajar untuk bisa bekerja sama dalam sebuah grup. Ketika sebuah grup berkompetisi dengan grup lain, maka grup yang menang biasanya adalah grup yang memiliki kerjasama yang baik. Jika di masa lampau seperti ini, ketika manusia purba sudah bisa bekerja sama dengan baik, maka hal ini akan meningkatkan kemampuan grup tersebut untuk bertahan hidup.
Ada fakta yang menarik. Menurut Jonathan, evolusi menjadikan manusia makhluk berkelompok yang kondisional (conditional hive creatures). Ada “hive switch” yang membuat kita bisa mengutamakan kelompok di atas kepentingan pribadi dan menjadikan kelompok kita lebih baik dari kelompok lainnya. hive switch yang terprogram di dalam otak kita ini adalah sebuah perasaan bahagia di dalam sebuah grup yang bisa meningkatkan kedekatan antar individu dalam sebuah grup. Bagian ini juga mengenalkan saya pada pemikiran sosiologi asal Prancis, Émile Durkheim, bahwa manusia merupakan homo duplex. Kita merupakan makhluk yang memiliki rasa individualitas, tapi juga ingin menjadi bagian yang lebih besar dari kita.
Trakhir. Kita manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk peduli terhadap hal-hal di luar diri kita sendiri, dan dalam prosesnya kita mengikat diri kita ke dalam tim yang dapat melaksanakan proyek yang lebih besar. Itulah inti dari agama. Dan dengan sedikit penyesuaian, hal ini juga berkaitan dengan politik. Bahwa tidak ada yang namanya pilihan rasional, yang ada adalah berdasarkan emosional atau ketertarikan sehingga orang yang kita anggap baik sekalipun akan kita anggap sebagai musuh yang harus dilawan karena tidak sesuai atau berbeda dengan kepentingan kelompok kita.